7.7.08

Pak Budi

Pak SP*) yang budiman,

Belum lama ini saya keliling Jawa untuk sekadar refreshing, sambil melihat situasi kondisi bisnis tanaman, terutama menjelang harga BBM naik. Ternyata pameran tanaman masih banyak diselenggarakan. Tidak ada yang berubah, baik semangat, dan jenis tanaman yang diperdagangkan di sana. Seperti saya bilang dalam sebuah tulisan, di bawah matahari ini tak ada lagi tanaman baru. Yang ada daur ulang tanaman. Saat ini ditendang, besok ditimang-timang, atau saat ini disayang-sayang besok lusa bisa saja ditendang-tendang. Mungkin itulah nasib tanaman.

Saya bertemu beberapa pedagang yang mukanya mulai berseri-seri. Salah satunya Pak Budi, pemilik Meteor Garden, salah satu nursery anthurium terbesar di Jawa Tengah yang berlokasi di Banjarnegara. Green house-nya banyak, mentereng dan keren. Buka tutup lubang udara saja menggunakan remote control. Untuk merancang green house setinggi 7 meter tersebut, dia sengaja mendatangkan pakarnya dari Jakarta. Tentu tak terbilang beaya investasi, di luar nilai tanaman. Saya tanya, bagaimana sikap dia ketika tanaman loyo tempo hari? Dia jawab, enjoy-enjoy saja. Ketika harga turun, dan kebetulan tanamannya panen serentak, dia mengaku tidak panik. Bahkan, supaya pasar tetap bergairah, dia ikut meladeni dengan menurunkan harga. Dengan itu dia merasa bermain sky air. Kemana gelombang beringsut, dia ikuti saja iramanya. “Asyik…,” katanya.

Menjelang BBM naik, dia masih bisa menjual bibitan Jenmanii 2 daunan dengan harga Rp. 50rb per tanaman. Angka itu menjadi signifikan karena dia menjual per kompot isi 100 tanaman. Dan dia bisa menjual sampai 10 kompot sekaligus dalam setuiap transaksi. Demikian juga bibitan Black Beauty, yang dia jual per tanaman Rp. 400rb. Dengan mudah, dia menjual hampir beberapa puluh kompotan sekaligus.

Pak SP yang baik,

Kalau orang lain merasa susah menjual borongan seperti itu, mungkin karena orang juga percaya kredibilitasnya. Maklum, pembeli bibitan atau biji bisa melihat indukannya, bahkan kalau perlu, katanya, bisa petik langsung dari pohonnya.

Pak Budi, tak bisa dibilang orang lama di tanaman. Dia jatuh cinta pada anthurium karena terpesona pada sosok dan bentuk daun Black Beauty. Ketika booming anthurium terjadi, dia seperti halnya kita, tergerak ikut membeli Jenmanii, dan Gelombang Cinta. Bedanya kalau orang lain, membeli kelas bibitan atau kelas remaja, Pak Budi hanya mau membeli khusus untuk jenis indukan, yang bertongkol. Kita pikir waktu itu, orang ini sinting juga mengingat harga indukan saat itu rata-rata bisa mencapai Rp. 50 juta.

Rupanya, dia punya argumen sendiri. Dan sekarang, ketika harga melorot, dia membuktikan dirinya tetap bintang. Bayangkan, setiap hari, setiap pohon menghasilkan ribuan, bahkan belasan ribu biji yang dijual murah pun, tetap menghasilkan laba. Kalau dia lagi memetik biji-biji itu, saya membayangkan, orang yang lagi menarik uang dari Auto Teller Machine saja.

Tak syak, Pak Budi adalah tipikal seorang pedagang, yang kebetulan mencintai tanaman. Imannya teguh, meski harga runtuh. Ketika orang lain memicingkan mata pada tanaman yang dianggap sudah tak laku, dia malah setiap hari tekun merawat tanaman-tanamannya. Ketika orang lain, dengan kesal merobohkan green house-nya karena merasa tanaman sudah tidak laku, dia malah menambah green house-nya karena tanamannya makin banyak. Jadi, tak hanya intuisinya bagus, dan bersikap smart, dia juga pengagum mahkluk hidup.

Di Wonogiri, saya ketemu Pak Bian Gie. Dia juga nasibnya sama. Saat harga anthurium jatuh akhir tahun 2006, dia borong semua yang bertongkol. Ketika pasar anthurium mengalami peak tahun lalu, dia kipas-kipas. Padahal dulu saya kira, dia juga orang sinting. Masak, anthurium lagi tidak laku, dia malah beli banyak-banyak….

Sekian saja dulu kabar dari Serpong.

Empat kali empat
enambelas,
kalau tidak sempat,
bapak enggak usah balas.:-)

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie adalah wartawan dan pecinta tanaman

*) SP: adalah Safruddin Pernyata, pecinta tanaman hias, pemilik Shalma Shofa, sehari-hari Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kaltim.

Spekulan

Pak SP yang baik,

Turunnya pamor anthurium, harus diakui telah membuat banyak orang kini dalam kesulitan financial. Terutama mereka yang serakah. Ketika harga merangkak pelan tapi pasti, banyak yang merasa cerdas, untuk langsung memborong banyak-banyak tanaman tersebut. Tak sedikit yang ‘nekad’ menggadaikan rumah, atau sepeda motor, sekadar untuk menangkap moment itu. Tapi, apa mau dikata? Kita tahu kemudian, harga dengan lekas ambrug secara semena-mena.

Ketika anthurium turun panggung, saya masih punya 14 pot Jenmanii dan sejumlah Gelombang Cinta indukan. Sungguh, saya tidak merasa kalah main. Anthurium itu saya simpan dan saya rawat baik-baik di green house yang malah saya bikin khusus untuk itu. Bahkan, saya suka mengajak teman-teman minum kopi, sambil memandanginya.

Ada teman yang punya nasib serupa: menyimpan banyak anthurium ketika harga turun. Berbeda dengan saya, dengan nada penyesalan, dia suka menghitung harga pembelian masing-masing tanaman itu. “500 juta,” katanya, “Sebesar itulah uang yang telah saya keluarkan. Coba kalau waktu itu saya jual tanpa banyak cingcong…..”.

Banyak juga teman-teman yang sekarang merasa empet kalau melihat tanaman-tanaman itu ‘teronggok’ di kebunnya karena ketika ditawar dengan harga bagus, tidak mau dilepaskannya. Sekarang, dia dilanda trauma berat. Jangankan merawat, menyentuh dan melihat pun ogah.

Pak SP yang budiman,

Kalau dibilang akibat anthurium-anthurium itu, uang saya mati, anggapan itu tidak salah. Coba kalau anthurium sebanyak itu saya jual murah saja, mungkin nilainya hampir mencapai 1 M. Sayangnya, saya tidak terlalu suka berandai-andai seperti itu.

Saya sendiri tidak pernah melihat hal itu dari perspektif sempit. Saya tahu kapan jadi pedagang dan tahu kapan berperan sebagai hobiis. Sebagai hobiis, saya jjustru beperpendapat, saya beruntung karena sekarang saya bisa punya anthurium sebanyak itu. Sementara setahun lalu, bermimpi punya satu pot pun saya tidak berani. Saya malah sedang bercita-cita jadi breeder. Sudah ada beberapa yang menghasilkan biji sampai saya kewalahan untuk menyemainya. Itung-itung, kalau saya jual murah untuk mengimbangi pedagang yang suka membanting harga pun, saya sudah berani.

Sebagai pedagang saya selamat karena yang 14 pot itu, kalau harus jujur, itu hanya sekitar 5-8 persen dari yang telah saya perdagangkan selama ini. Dari situ saya tentu saja untung, termasuk yang 14 pot itu. Kenapa saya selamat? Sekali lagi karena pada waktu itu, --ketika harga meroket,-- saya memposisikan diri sebagai pedagang bukan sebagai hobiis apalagi pedagang yang spekulan. Atau kombinasi dari itu.

Seorang pedagang sejati, tahu kapan saatnya membeli dan tahu kapan saatnya harus menjual. Sebagai pedagang saya lebih memilih hanya membeli tanaman yang laku, daripada membeli tanaman yang murah. Saya tidak pernah kikir membeli barang mahal, selama tanaman itu menguntungkan. Sebaliknya saya tak punya nyali membeli tanaman murah, kalau saya tidak bisa menjualnya.

Sebagai pedagang, patokan saya jelas. Tanaman akan saya jual kalau saya sudah untung seperak, tapi pasti tidak akan saya jual kalau saya rugi seperak. Sebagai pedagang saya hanya menjual tanaman yang prima, dan tidak letoy. Sebaliknya kalau saya sedang menjadi kolektor atau hobiis, saya mungkin tidak akan menjualnya meski ditawar dengan harga tinggi. Sebagai kolektor atau hobiis, mungkin saya juga ‘hanya’ akan menjual tanaman yang kurang bagus, dan lebih memilih memiliki hanya yang bagus-bagus saja untuk dirinya.

Jadi, kalau Anda membeli tanaman karena Anda berharap akan mendapat untung belaka, saya berani bilang: Anda adalah penjudi. Nasib penjudi hanya ada dua: kalah atau menang. Jadi kalau Anda kalah, sebaiknya ya legowo, mosok maunya menang terus?

Kalau tanaman Anda ditawar Rp. 75 juta (padahal sudah untung berlipat ganda), tapi Anda tetap bertahan karena Anda berharap untung lebih banyak lagi, saya kira Anda bukan pedagang, tapi spekulan. Kaum spekulan juga punya dua kemungkinan: kalah atau menang. Kalau sekarang tanaman tersebut tidak laku dijual, maka jangan salahkan siapa-siapa.

Terus terang, saya tahu kapan saya menjadi hobiis dan kapan sedang menjadi pedagang. Itulah sebabnya, saya tidak pernah risau, malah bahagia dan bersiul-siul ketika memandangi tanaman di green house saya itu. Karena saat itu, sesungguhnya saya sedang berperan sebagai seorang hobiis.

Bagi seorang hobiis, booming atau tidak, tak penting-penting amat. Yang penting Anda suka, karena tanaman itu unik (mungkin karena corak warna, bentuk, tekstur, urat dan tangkai daun, bonggol, tajuk) , langka, atau pertimbangan lainnya. Sebagai pedagang, tugas saya hanyalah menjual, tidak ada lainnya.

“Saya senang dengan semua tanaman hias, aglo, anthurium, philo, anggrek, tilandsia, bromelia dan tanaman hias lainnya, kecuali satu yang saya benci: spekulan.”

Hehehe,… Itu bukan kata-kata saya, Pak. Itu kata Bapak. Masih ingat?

Salam dari Serpong,

KJ
Kurniawan Junaedhie, adalah wartawan dan pecinta tanaman hias di Serpong

*) Artikel ini ditulis secara khusus untuk Tabloid Hias, Samarinda (direncanakan akan menjadi sebuah rubrik tetap) atas permintaan Bapak Safruddin Pernyata, pengelola tabloid tersebut, seorang penikmat tanaman hias di Samarinda, yang sehari-hari adalah Kepala Dinas Pendidikan Nasional di Kaltim
KJ adalah toekang poeloeng tinggal di pinggiran Jakarta