7.12.09

Realisme Cerita Pendek

Koran, tempat lahirnya banyak cerita pendek di negeri ini, tampaknya tak ragu-ragu memuat cerita pendek dengan narasi yang memang pendek. Jika awalnya banyak menuai kritik, lantaran berbaur dengan realisme berita koran yang cepat dan jelas--seperti kritikan yang muncul dengan sebutan ‘sastra koran’ yang sinis beberapa tahun terakhir. Cerpen koran bagaimana pun telah menyita energi sebagian pemerhati sastra di tanah air. Ia sering dihakimi sebagai cerita yang melulu tunduk pada realisme berita. Dengan wataknya yang ringkas lagi pendek, cerita pendek yang dimuat di koran sering diadili sebagai cerita dengan bahasa yang sempoyongan. Jika tidak, maka cerita semacam itu dianggap sebagai cerita sekali jadi, berhenti pada cerita yang dianggap belum selesai. Cerita pendek di koran memang tak memberi ruang untuk mengembangkan cerita lebih jauh.

Para pemerhati sastra kita melulu disibukkan oleh hal-hal yang tidak mencerahkan. Sasaran cemoohan bukan lagi pada substansi dengan gaya dan bentuk cerita--seperti perdebatan tempo dulu—tapi pada media tempat cerita itu dimuat. Para kritikus sepuh yang dulu beramai-ramai mempersoalkan bentuk dan gaya, kini tengah mengidap insomnia yang parah. Para kritikus sastra yang lebih muda sering terjebak pengulangan, diksi yang itu-itu juga. Maka jadilah koran sebagai sasaran kegelisahan dan sering dipersoalkan. Maka tak heran jika kritik sastra kita jauh tertinggal dibanding kritik sastra Eropa. Di Eropa, sastrawan sekaliber Umberto Eco tanpa malu-malu menuangkan karyanya di koran-koran dan tak pernah kehilangan kualitas literernya. Maka lahirlah buku Travels in Hyper-Reality dan Misreading yang menghebohkan sastrawan dan intelektual. “Dalam setiap tulisan dimana terjadi pergolakan emosi yang disulut oleh peristiwa tertentu, demikian Eco, Anda menulis refleksi, berharap adanya seorang yang akan membacanya dan kemudian melupakannya. Saya tak percaya adanya perbedaan antara menulis di buku, dijurnal yang ketat, dengan menulis di koran”.

Lihatlah cerita pendek ‘semiesai’ Jorge Luis Borges—yang kebetulan memang narasinya pendek-pendek—meski mungkin tidak dimuat di koran-koran. Labirin cerita pendek Borges menawarkan sekian dimensi cerita, yang tidak sekedar berumit-rumit ria dan gagah-gagahan, seperti kebanyakan para cerpenis kita. Gaya (style) yang dibangun, dengan membaurkan kisah-kisah mistis penuh simbolik, memadukan gaya surealisme dengan realisme, cerita-cerita Borges justru menyajikan keindahan sekaligus kenikmatan.

Ini yang kemudian mengilhami Hasif Amini untuk merumuskan apa yang kemudian disebutnya sebagai fiksi mikro. Sebuah fiksi yang berupa ‘narasi pendek, yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos. Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri, ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat” (Prosa No.1/2002: 61-62). Kemudian, dalam menuju pencapaian literernya, ada tiga sihir yang biasa berlaku dalam fiksi mikro.

Pertama, sudut-pandang (provokatif). Fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan; atau take it or leave it! Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau memohok, hit and run. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi (Ibid., h. 62).

Satu hal yang membuat fiksi mikro tetap mendapat tempat dan sering, bahkan terlalu sering dirujuk orang, terletak pada kisahnya yang tidak sekedar bermain dengan bahasa dan estetika yang puitis, tapi tetap menyampaikan pesan yang kuat yang gaungnya sekian lama tetap terasa. Dalam prosa “Nukila Amal”, meski harus diakui, imaji dan estetika yang dibangun dalam cerita Cala Ibi begitu indah dan menyentak-nyentak, dan sangat jarang kita dapatkan dalam karya-sastra sebelumnya. Dan kita terperanjat ketika dia bilang: “realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira” (h. 73). Tapi, ketika substansi dicampakkan, cerpenis kawakan seperti Sapardi Djoko Damono tak mampu menagkap substansi dan pesan di dalamnya.

Berbeda dengan imaji yang dibangun Nukila Amal, Zen Hae tetap berpegang teguh pada alur realisme. Meski cerita realisme Zen sangat dekat dengan anjuran Nukila Amal: “sebaik-baik penceritaan realitas ialah dengan alegori dan metafora’, atau dalam istilahnya Zen sendiri; dengan perlambang atau simbolisme. Dalam cerpen “Taman Pemulung”, cerita mengalir bagai serpihan-serpihan puisi liris dengan gaya surealis yang kental. Cerpen “Rumah Jagal” misalnya, ceritanya mengalir layiknya sebuah esai—sebuah surat upaya. Damanhuri suatu ketika pernah mengajukan sebuah pertanyaan yang agak menyentak: apakah tokoh Mahmuda Tongga dan puisi yang dikutip Zen dalam cerpen ini memang ada dalam realitas faktual atau hanya sekedar kisah imajiner yang “direalitaskan”?

Pertanyaan cerdas itu menunjukkan sikapnya yang penuh ragu: jangan-jangan cerpen semacam itu sama sekali tak ada hubungan dengan realitas faktual—dalam arti benar-benar pernah ada penyair Mahmuda Tongga dan puisi semacam itu. Mahmuda Tongga dan puisi yang dijadikan setting cerita di atas barangkali semacam upaya membuat seolah-olah realitas faktual, padahal hanya sebuah imajinasi si pencerita.

Dengan tetap yakin bahwa cerita-cerita Zen Hae adalah cerita realisme, dalam arti realisme faktual, bagaimana pun realisme semacam itu tetap menarik. Kemampuannya membungkus realitas dalam bentuk metafor yang penuh perlambang, seperti menjelma dalam cerita Kereta Ungu dan Taman Pemulung, adalah kisah-kisah yang menjemput decak kagum para pembaca. Lihatlah kelincahannya mengisahkan orang-orang lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi dalam cerpen Kereta Ungu. Tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi hingga militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks hingga tarian telanjang. Atau kegelisahan orang-orang kalah di Jakarta, perlakukan diskriminasi oleh negara atas etnis tertentu, sebuah refleksi yang menyentak naluri kita dalam cerpen Taman Pemulung. Sebuah tema yang kelak bisa kita jumpai juga dalam cerpen-cerpen Azhari.

Adapun A.S. Laksana cukup menonjol mengeksplorasi tema realisme dalam cerpen-cerpennya. Kumpulan cerpen Bidadari Yang Mengembara adalah satu contoh lagi dari capaian literer cerpen ‘koran’. Buku ini telah mengantarkan A.S. Laksana (36 tahun) dalam deretan cerpenis yang cukup berpengaruh. Sebuah karya realisme yang kental dengan kisah pergolakan kehidupan sosial-politik Indonesia dengan bahasa dan metafor cukup sederhana, bahkan terkesan datar. Mingguan Majalah Tempo mentahbis A.S. Laksana sebagai ‘tokoh seni terbaik tahun 2004. Untuk mengundang siapa di antara para seniman yang layak diangkat sebagai ‘tokoh’ tahun 2004, Majalah Tempo mengundang Nirwan Dewanto--kritikus sastra yang banyak dibenci oleh para penulis itu—sebagai juri tahbis sastra yang sangat kontroversi. Sebuah esai bertitimangsa “Tiga Penguak Tabir” dalam mingguan ini mengulas seni rupawan Handiwirman Saputra, cerpenis A.S. Laksana dan arsitek Adi Purnomo. Karya ketiganya masuk dalam kategori seni terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Esai ini tanpa identitas, tapi melihat diksinya yang khas, dugaan kuat bahwa yang menulis esai ini adalah Nirwan.

Dua belas cerita pendek A.S. Laksana menurut si penulis esai, nampak terancang dengan baik, namun bukan sekedar rancangan untuk membina kesatuan cerita, melainkan untuk meneguhkan watak fiksi sebagai apa yang beririsan dengan fakta (realitas) namun tak pernah menjadi representasi yang sempurna. Karya Laksana menghidupkan kembali seni bercerita sekaligus mengandung sikap kritis terhadap bentuk cerita itu sendiri. Ketika kita merasa puas dengan pengalaman para tokoh, si narator menyadarkan kita bahwa semua itu hanya ingatan atau tuturannya yang boleh jadi keliru (h. 62-63). Sebuah penilaian yang sangat berlebihan. Cerpen Laksana agak dekat dengan cerita-cerita Linda Cristanty, yang kebetulan keduanya juga seorang jurnalis. Berkat Kuda Terbang Maria Pinto, Linda dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literer Award tahun 2004 bersama Seno Gumira Ajidarma. (Asarpin
Pembaca sastra, tinggal di Tanjungkarang)

Kuntowijoyo

Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005, pukul 16. 00 Wib, setelah lebih dari sepuluh tahun mengalami serangan virus meningo enchepalitas yang mematikan. Sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pemikir Islam local genious ini, sepanjang hayatnya banyak melahirkan karya sastra, sejarah dan pembaharuan pemikiran Islam yang begitu cemerlang hingga hari ini. Dalam menghadapi virus ganas yang menyerang otaknya, karya-karyanya terus lahir menyapa kita.
Satu persatu kita kehilangan orang-orang yang selama ini tak pernah meminta lebih dari apa yang kita berikan, juga tak pernah mengharap lebih dari apa yang semestinya. Mochtar Lubis, YB Mangunwijaya, Subagio Sastrowardoyo, Sutan Takdir Alisjahbana, Linus Suryadi Ag, Arifin C Noer, Teguh Karya, HB Jassin, Satyagraha Hoerip, Motinggo Busye, Mahbub Djunaedi, Dick Hartoko, AA Navis, Umar Kayam, Saini KM, Hamid Jabbar dan Kuntowijoyo, dan entah siapa lagi yang akan menyul berikutnya.

Di tengah duka yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, kita tersentak mendengar kabar meninggalnya guru besar ilmu budaya di Universitas Gadjah Mada ini. Sementara kita yang masih tinggal di sini, berharap-harap cemas, meratapi kesedihan yang kian berlarut-larut. Pancangan kenangan yang telah almarhum berikan kepada kita seakan telah menebus seribu satu kesalahan yang telah kita perbuat selama ini. Ia tak henti-hentinya menyapa kita lewat kolom-kolom agama, novel dan cerita pendek hingga tulisan-tulisan sejarah yang begitu cemerlang memaparkan kekerdilan dan kebodohan kita.
Buku-bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Ibadah dan Fenomena Kepribadian Muslim (1985), Paradigma Islam, Interpretasi dan Aksi (1991), Identitas PolitikUmat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002), adalah karya-karya di luar fiksi yang banyak dirujuk orang. Kematangan refleksinya melahirkan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam konteks sejarah gerakan keislaman dan keindonesian. Sementara buku Metodologi Sejarah (1994), yakni sebagai ilmu dasar sejarah (ontologi), hubungan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu etik, dan menawarkan cara menulis sejarah yang estetik.
Kunto adalah pengarang produktif dan berkarya yang nyaris tanpa interupsi. Ia senantiasa membayang-bayangi kita lewat cerita-cerita sederhana namun mengandung metafor yang begitu dahsyat menyadarkan kita manusia Indonesia akan bahaya lupa. Ia juga tak kalah uniknya dalam membangun konflik-konflik tokoh ceritanya. Bahkan beberapa cerita pendeknya, seperti memberi isyarat maut bahwa suatu waktu ia akan pergi meninggalkan kita selama-lamanya.
Dalam cerpen Anjing, Kunto memperingatkan akan bahaya kefanatikan yang dipeluk teguh oleh umat beragama. Berkali-kali—bahkan sering—ia menampilkan rasa tidak puas diri ketika melihat banyaknya orang-orang yang beragama tapi hanya berhenti pada realitas artifisial yang dangkal. Metafor anjing sungguh sangat tepat menunjukkan bagaimana sikap orang -orang yang beragama yang menganggap yang lain (anjing) sebagai sesuatu yang najis dan harus dijauhkan dari lingkungan keluarga.
Tokoh istri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang istri yang berpendidikan dan begitu taat mengikuti suaminya, tapi kadar religiusitasnya begitu dangkal. Realitas kehidupan beragama semacam ini kita temukan juga dalam cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon dan cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan. Dalam “kesadaran sastra transendental”, mengutip istilah Kunto sendiri, kerapkali ia melontarkan kritik terhadap agama (Islam) dan tokoh-tokoh agama yang munafik, yang tak jarang menganggap dirinya paling suci di dunia ini.
Sejak novel Khotbah di Atas Bukit (1976), kecenderungan Kunto menampilkan setting keberagamaan yang profetis—keberagamaan yang mendekati tauladan dan sifat kenabian-- sudah begitu menonjol. Dalam cerpen Kembali Mencintai Bunga-bunga, Kunto kembali menghangatkan apa yang waktu itu (tahun 1960-an) disebut sebagai dualisme kehidupan beragama: tradisional vs modern. Alam tradisional yang diwakili oleh kehidupan orang-orang desa masih menempatkan agama sebagai laku moral yang harus ditegakkan, dimana pun dan dalam realitas apa pun. Sementara alam modern secara gamblang ditampilkan lewat kehidupan orang-orang kota yang secara angkuh menolak nilai-nilai “spiritualitas transenden”.
Tapi sungguh satu hal yang paling simbolik dalam cerpen-cerpen Kunto adalah ketika berkali-kali ia menulis cerpen tentang masalah kuburan. Agaknya cerpen-cerpen semacam ini menjadi semacam isyarat puitik dan pesan-pesan terakhirnya sebelum kemudian ia meninggalkan realitas duniawi dan masuk ke alam kubur dalam arti yang sebenarnya. Dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan—sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas 1997—Kunto memainkan sebuah realitas kehidupan modern lewat metafor anjing. Ia menampilkan kisah-kisah sederhana (baik bentuk maupun gaya) untuk mengungkap kehidupan manusia yang kian serakah, yang saling memangsa satu sama lain.
Kehidupan keluarga miskin yang berhari-hari kelaparan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terpaksa harus mencuri makanan. Namun ketika makanan sudah didapat, sekonyong-konyon anjing datang mengambilnya. Kisah ini seakan memberikan gambaran kepada kita bagaimana penindasan dilakukan atas nama kemiskinan.
Dalam cerpen Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan—juga dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1997 dan diterbitkan dalam karyanya berjudul Hampir Sebuah Subversi (1999)—Kunto kembali memainkan jurus-jurus sejarah dan sosiologis lewat orang-orang yang serakah atawa penjahat, tapi dikuburkan sebagai pahlawan. Cerpen ini mengingatkan kita pada roman karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, dimana orang-orang dungu yang tak pernah berjuang menegakkan kemerdekaan diberi predikat oleh negera sebagai pahlawan: “dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”, demikian Pramoedya melukiskan.
Sementara Kunto merasa kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan mereka yang seharusnya pantas diberi predikat pahlawan lewat kesaksian-kesaksian orang pertama dan kedua di cerpen ini. Baik cerpen Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan maupun novel Bukan Pasar Malam, keduanya sama-sama menggunakan tokoh ayah. Dan kedua-duanya juga sama-sama mengambil setting cerita pada masa Revolusi 1945. Bedanya, Pramoedya bertutur lewat orang ketiga, sementara Kunto bertutur lewat orang pertama dan kedua.
Dalam cerpen ini Kunto begitu piawai membangun konflik pada tokoh-tokohnya. Ia juga menampilkan sosok tokoh yang protagonis bernama Sangadi. Di masa Revolusi 1945, Sangadi dikenal sebagai orang yang pemurah hati dan tak segan-segan meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang dianggap membutuhkan. Tapi di sisi lain, ia sering memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Sang narator mengalami kebimbangan ketika hendak menentukan apakah Sangadi pantas dikuburkan di makam pahlawan atau tetap dibiarkan berada di kuburan di desanya, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Waktu itu tahun 1947, Zaman Revolusi. Ayah saya betugas di Dinas Penjualan Garam dan Candu. Tidak ada garam, jadi praktis yang dijual candu”....”Sangadi bersahabat baik dengan ayahku. Barangkali persahabatan yang aneh. Sangadi adalah bajingan paling ditakuti ayahku termasuk orang yang dihormati”. “Kemudian Sangadi meninggal. Mereka bertemu orang-orang menggotongnya keluar dari kampung kita, lalu dikuburkan di makam umum desa. Setelah aman, makam itu dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang baru, yang kita kenal sebagai Makam Pahlawan”.

Meski pengarang mencoba menghindar dari posisi “menghukum” tokohnya, namun secara terang jawabannya terungkap lewat judul cerpen ini, “Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan”. Jasa baik Sangadi telah luntur lantaran perbuatannya yang begitu sering melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan tak bersalah.

Karena kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini hampir sama dengan dengan roman karya Pramoedya di atas, maka (maaf) saya sedikit mencoba untuk membandingkan kedua karya ini.

Dalam roman Bukan Pasar Malam, Pramoedya secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan tapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”, demikian Pramoedya mengungkapkan.

Selanjutnya, dengan kembali menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya tak henti-hentinya mengingatkan kita akan bahaya dari sejarah buatan rezim resmi:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Dengan demikian, baik Kunto maupun Pramoedya, keduanya memang pengarang yang piawai memainkan kilas-balik sejarah masa lalu yang tetap menemukan pijakan pada masa kini dan bahkan di masa mendatang. Kedua tokoh ayah dalam kisah ini tampil sangat memikat lewat ayah yang bekerja sebagai pedagang garam dan candu (Kunto) dan ayah yang bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (Pramoedya), yang menggugat kebijakan Dinas Pemerintahan Kolonial. Dan sebagaimana diketahui, kedua tokoh ayah ini hampir tidak pernah disinggung-disinggung apalagi dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional di negeri ini di susun untuk melupakan sejarah yang sebenarnya.

Gugatan yang bertubi-tubi dihadirkan Kunto lewat cerpen-cerpen yang menggugat warisan buku-buku sejarah resmi menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahkan beberapa cerpennya yang lain, tak kalah bernasnya mengisahkan kehidupan orang-orang kalah, seperti cerpen Orang yang Mencintai Kuburan. Cerpen ini menunjukkan secara kontras antara makam orang-orang kaya dengan makam orang-orang miskin dan realitas politik “yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan anjing” (yang besar memakan yang kecil). Begitu juga dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi, lewat kisah sederhana ini ia mendedah sosok mahasiswa yang kritis tapi oleh dosennya dituduh sebagai anti-ideologi negara.

Sampai disini, karya-karya almarhum Kuntowijoyo menawarkan sebuah kisah dramatik sekaligus subversif. Cerpen-cerpen bertema kuburan memang sebuah isyarat puitik tentang kematian, yang setiap orang akan pergi meninggalkan yang lain. Maka dari sini, cerpen-cerpen Kunto menawarkan kesegaran dan ketegangan sebuah cerita, bukan pencabulan ata kenenesan yang membual mimpi-mimpi indah. Karena itu, sepantasnya bila almarhum diberi gelar bapak bangsa dan dikuburkan sebagai pahlawan nasional. Suka atau tak suka, begitulah adanya.

Persoalan Cerpen Persoalan Bahasa

Persoalan cerpen, sebagaimana ragam jenis prosa lainnya seperti novel ataupun novelet, adalah persoalan bahasa. Dalam artian, bagaiamanakah sebuah kejadian atau peristiwa mampu diwujudkan dalam satu kontruksi bahasa naratif.

Ia jelas berbeda dengan puisi yang lebih menekankan diri pada kata. Menyoal hal ini, Wiratmo Soekito, pemikiran sastra Indonesia, pernah mengilustrasikannya dengan cerdas bahwa persoalan seorang prosawan adalah persoalan bahasa sebab ia berada dalam bahasa.

Menurut Wiratmo Soekito, hal ini jelas berbeda dengan penyair yang berada dalam kata. Pada mulanya, ia memaparkan, kata yang mengandung arti diciptakan oleh seorang penyair: kata yang diciptakan itu merupakan mitos, yang setelah "dipotret" oleh seorang prosawan dalam bentuk cerita diteruskan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Inilah, lanjutnya, sebabnya mengapa seorang prosawan (dalam kasus ini adalah seorang cerpenis) berada di dalam bahasa di luar kata.

Tetapi hal ini bukanlah serta-merta berarti bahwa seorang prosawan atau cerpenis, ketika ingin mewujudkan imaji kertaifnya, haruslah mengkontruksikan bahasa naratifnya dengan semangat berlebih-lebihan dalam karya-karyanya.

Bisa saja, sebuah cerpen dihadirkan dengan bahasa yang sangat sederhana, tidak berbelit-belit, ataupun tidak berusaha berindah-indah. Misalnya cerpen-cerpen karya Anton Chekov, O'Henry, Guy de Maupasant, Ahamd Tohari, Umar Kayam, Yanusa Nugroho, ataupun Budi Darma. Pada cerpen-cerpen mereka, kontruksi bahasa narasi yang dihadirkan terasa sangat sederhana, efentif, dan efisien.

Seperti juga pada cerpen-cerpen karya Zen Hae dalam kumpulan Rumah Kawin (Kata Kita, 2004). Pada cerpen-cerpennya, penggunaan bahasa yang lugas, sederhana, dan efektif, begitu ciamik diperagakannya ketika ia mengkonstruksi satu bangunan cerita. Tengok saja "Hikayat Siti Rahima" (2004: 67-74).

Pada cerpen itu, Zen Hae hanya ingin menceritakan riwayat keberadaan sebuah pohon tua yang menurut orang-orang di sekitarnya memiliki biografi yang gaib dan penuh kemukjizatan. Dalam cerpennya ia berbahasa dengan bersahaja sekali. Seperti ketika Zen Hae ingin mengutarakan sisi batin si pohon beserta kenangannya. Cerita mengenai tokoh pohon tua tersebut, oleh Zen Hae seakan terkesan ingin dibahasakannya dengan gaya bahasa yang santai sekali dengan sesekali agak terkesan centil.

Bukan hanya cerpen itu saja. Pengalaman yang sama dapat ditemui dalam cerpen lain. Cerpen "Rumah Kawin", "Taman Pemulung", "Rumah Jagal", ataupun "Kota Anjing". Bahkan pada cerpen "Hikayat Petarung Kampung", pembaca seakan-akan diingatkan pada gaya bahasa penceritaan komik-komik silat.

Selain pada cerpen-cerpen Zen Hae, dalam lapangan percerperan Indonesia, kesederhanaan bahasa narasi juga pada cerpen-cerpen karya M. Arman AZ. Contoh, cerpen "Surat dari Masa Lalu" (Logung Pustaka, 2004: 113-123). Pada cerpennya tersebut, dikesankan Arman, hadir simpul-simpul kontruksi bahasa yang amat sangat sederhana:

Cinta memang sesuatu yang pelik dan rumit untuk dimengerti. Itulah yang kurasakan setelah membaca sepucuk surat dalam amplop biru muda yang dialamatkannya kepadaku. Terlalu banyak yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun setelah kita berpisah dengan seseorang. Tapi, ternyata dia masih teringat pada seorang lelaki sepertiku. (2004: 113).

Dari secuplik kutipan di atas dapatlah dilihat, betapa Arman mencoba menghadirkan bahasa yang sederhana dalam mewujudkan konstruksi narasi. Ia tidaklah berusaha berindah-indah, ataupun berumit-rumit ketika menceritakan sesuatu. Ini mengingatkan pada cerpen-cerpen karya Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulan Kejantanan di Sumbing (Balai Pustaka, 1982).

Dalam kumpulan, Subagio Sastrowardoyo sengaja menggunakan bahasa-bahasa yang efektif dan efisien. Baca baris-baris kalimat pada salah satu cerpen "Kejantanan di Sumbing":

Waktu malam di Gunung Sumbing sangat dinginnya. Bagi orang yang baru mengungsi dari kota, hawa dingin itu merupakan momok yang paling mengerikan. Sama dahsyatnya dengan ketakutan kepada tentara Belanda yang mengejar-ngejarnya siang hari. (1982: 17)

Hasif Amini dalam sebuah tulisannya, pernah mengatakan sebuah cerpen yang sekedar hendak bercerita, dan betul-betul bercerita dengan bahasa yang lugas dan terang, jalan cerita yang sederhana dan wajar, dan tokoh-tokoh biasa dalam keseharian, tentu saja sudah memadai, bahkan bisa jadi sebuah cerpen yang bagus. Sebab, kekuatan sebuah atau suatu cerpen terkadang justru muncul dari kesederhanaan tema dan kewajaran cara ungkap, bukan dari kecanggihan ataupun keelokannya.

Meskipun demikian, di satu sisi, ia juga tidak menutup kemungkinan hadirnya cerpen-cerpen yang dimuati kecanggihan ataupun keelokan bahasa. Misalnya cerpen-cerpen Milan Kundera ataupun William Carlos Williams. Menurutnya, jika sebuah cerpen tidak sekedar bercerita, tapi berminat (entah diam-diam atau terang-terangan) menawarkan keelokan dan kecanggihan pikiran serta bahasa, tentu ia menjanjikan pengalaman membaca yang berbeda. Yang bisa terasa demikian asyik dan mengejutkan.

Hal ini lebih dikarenakan dalam cerpen-cerpen semodel tersebut, pembaca tidak hanya akan bertemu sebuah jalan cerita, tetapi dengan sejumlah perayaan kemungkinan narasi yang bisa terbangun dalam pelbagai anasir verbal. Seperti pada cerpen-cerpen karya Danarto, Sony Karsono ataupun cerpen-cerpen karya Riyono Pratikto.

Dalam lapangan percerpenan Indonesia saat ini kecanggihan ataupun keelokan bahasa narasi juga dapat dilihat pada cerpen karya Nirwan Dewanto yang berjudul "Getah" (Jurnal Kalam, No. 15, th 2000: 127-142). Dalam cerpennya Nirwan Dewanto berusaha menghadirkan kecanggihan dan keelokan bahasa:

Bahkan tubuhnya mengelabu, hangus oleh waktu, kainnya yang sama benar dengan kainku tergeletak lusuh di atas jerami. Surga kini tak lagi dapat membedakan sepasang perenung gila itu: keduanya berkilau-kilau keemasan, seluruh cahaya dari segala matahari, bulan, planet dan bintang berekor jatuh di tubuh mereka.(2000: 128).

Hal sama juga dapat kita temui pada cerpen-cerpen Imam Muhtarom, ataupun pada salah satu cerpen Nukila Amal, "Surat Seorang Seniman Tua kepada Anaknya" (Jurnal Kalam, No. 21, th 2004: 113-122). Dalam cerpennya tersebut Nukila Amal ingin memperlihatkan kemampuan dan kekuatan kontruksi bahasa narasi. Dalam artian, ia dapat hadir dengan keelokan dan kecanggihannya yang tak kalah menakjubkannya dengan bahasa puisi:

Tubuhnya, terus membisikkan imaji-imaji, tak berhingga. Tubuhnya, juga membisikkan waktu, yang tak berhingga. Sedang ia belum selesai.(2004: 118).

Sampai di sini, dapatlah dikatakan, persoalan cerpen adalah persoalan bahasa. Dalam pemahaman sampai sejauh manakah sebuah basa cerpen mampu hadir dalam kontruksi bahasa narasinya yang ciamik. Meskipun adakalanya, merujuk pada pemikiran Hasif Amini, kecenderungan menghadirkan bahasa yang ciamik tersebut dapat membawa pembacanya dampai pada sebuah oksimoron, yaitu sebuah pesona yang menjemukan.

***

Indra Tjahyadi, penyair, Staf Pengajar Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.


Tulisan berupa cerpen, esai, sajak, dan resensi buku dikirim ke alamat redaksi@lampungpost.com,. Untuk mempermudah, tiap satu kali pengiriman naskah cuma boleh satu file. Setiap naskah diserta alamat jelas dan nomor rekening.

ANALISIS STILISTIKA: EKSOTISME KIASAN ALAM

PADA PUISI “BULAN LUKA PARAH” HUSNI DJAMALUDIN

Oleh Remmysilado


Pendahuluan


Sebuah puisi diciptakan didasarkan atas ilham dan merupakan sintese dari beragam peristiwa yang dituangkan dengan penggunaan media yang terpilih, penjiwaan yang lengkap dan membawa suatu konsep secara puitis (Antara, 1985: 4). Pandangan ini sangat dirasakan pada puisi-puisi Husni Djamaludin dalam kumpulan sajak-sajaknya yang banyak ditemukan penggunaan bahasa-bahasa kiasan alam sebagai pengalaman kejiwaannya. Di antaranya adalah kumpulan sajak Bulan Luka Parah, Berenang-renang ke tepian dan Namaku Toraja, sehingga alam menjadi inspirasi yang cukup indah untuk membentuk eksotisme sebuah puisi dalam memberikan efek atau dampak bagi para pembacanya. Tentunya hal ini tidak terlepas dari bingkai kejeniusan penyair dalam memadukan kata-kata kiasan alam.

Puisi di dalam penciptaannya memerlukan suatu daya kreatif yang tinggi dan daya imajinatif pada diri penyair untuk menyampaikan konsep yang terkandung di dalamnya. Segi bentuk (struktur) dan isi (konsep) satu dengan yang lainnya saling terkait dalam memberikan efek puitik, sehingga konsep inilah yang membangun eksotisme bahasa alam pada puisi ”Bulan Luka Parah” karya Husni Jamaludin.




Pembahasan

1. Diksi yang Eksotis

Analisis stilistika dalam puisi ”Bulan Luka Parah” memperlihatkan pemilihan kata kiasan alam yang eksotis. Hal ini merupakan bukti kontemplasi penyair terhadap alam sekitarnya yang bersentuhan dengan kreatif dan imaji penyair. Penggunaaan kata-kata kiasan alam cukup efektif dan efisien untuk memberikan imaji atau pembayangan yang timbul terhadap puisi, karena juga dilengkapi pemakaian simbol atau perlambang yang dinyatakan dengan bahasa kiasan; metafora, personifikasi, dll sehingga menimbulkan puisi yang lebih berjiwa dan hidup.

Diksi yang membangun puisi ”bulan Luka Parah” sebagian besar merupakan bahasa-bahasa kiasan, sehingga sangat sulit sekali dipahami maknanya. Inilah yang menjadi sisi menarik dari puisi ini walaupun terkesan membingungkan dan semuanya merupakan bahasa kias, tetapi pembaca diajak untuk menjelajah alam untuk menemukan amanat dari puisi ini.


Bulan Luka Parah


bulan luka parah

karena laut kehilangan ombak


bulan luka parah

karena ombak kehilangan laut


bulan luka parah

darahnya tumpah


ke dalam laut

yang kehilangan ombak


bulan luka parah

darahnya tumpah


jadi ombak

yang kehilangan laut


Dalam upaya untuk mempercantik puisi, penyair melakukan jalinan antar bait yang cukup rapat dan semuanya menggunakan bahasa kias. Hal menarik juga tergambarkan dalam judul puisi ini, yaitu ”Bulan Luka Parah”. Kata ”bulan” merupakan wujud pencitraan penglihatan penyair. Yang dimaksud dengan ”bulan” dalam kalimat tersebut belum bisa kita artikan secara ekplisit bahwa ”bulan” adalah objek yang ingin diceritakan oleh penyair. Bisa saja penyair ingin menyembunyikan sesuatu yang indah yang ingin diungkapkannya dengan perwujudan kata ”bulan”. Mengapa? Bisa jadi karena bulan tentunya mengajak pembaca kepada keindahan malam yang ”diterangi cahaya bulan” cukup tenang dan mengalir, sehingga pembaca sangat santai untuk ”memasuki” pesan yang ingin disampaikan penyair.

Selanjutnya, terjalin sebuah kalimat ”Bulan Luka Parah”, sebuah kiasan yang cukup indah karena hanya makhluk hidup saja yang bisa mengalami luka, sedangkan ”bulan” bukan merupakan makhluk hidup. Pilihan kata ini cukup eksotis dalam membangun sebuah puisi yang penuh dengan ambiguitas.

Puisi ini terdiri dari enam bait, dan tiap baitnya terdiri dari dua baris. Tiap-tiap baris dalam tiap baitnya tidak memakai penulisan huruf kapital yang biasa digunakan pada awal kalimat. Hal ini, merupakan ciri khas Husni Djamaludin dalam sebagian besar karyanya, yang banyak sekali terdapat dalam puisinya. Salah satu contohnya terdapat dalam puisi ”Kau, aku dan waktu”.


Kau, aku dan waktu

kalau waktu bergerak

karena jam berdetak

di manakah kau


kalau jam berdetak

karena waktu bergerak

di manakah kau

(”Kau, aku dan waktu” dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah )


Bentuk puisi ”Bulan Luka Parah”, dengan ciri-ciri di atas merupakan bentuk puisi yang tidak umum. Kalimat ”bulan Luka Parah” mengalami pengulangan kalimat di bait ke I, II, III dan V. Dalam hal ini penyair ingin menekankan ”Bulan Luka Parah” menjadi inti dari puisi tersebut. Selanjutnya, dengan pengulangan kalimat seperti itu; bait dan bait menjadi kesatuan kalimat yang cukup menarik bisa kita lihat jika bait I dan II digabungkan menjadi;

bulan luka parah

karena laut kehilangan ombak

bulan luka parah

karena ombak kehilangan laut


Kata ”laut” dan ”ombak” ditulis penyair saling melengkapi satu sama lain untuk menggambarkan ”bulan” telah mengalami luka parah, sehingga terjalin keserasian cukup indah dengan bahasa kias; ”bulan luka parah; laut kehilangan ombak; ombak kehilangan laut”.

Pada kalimat tersebut juga terdapat pengulangan yang tidak sempurna dan mempunyai rima dan pola yang hampir sama di setiap baitnya. Upaya ini dilakukan penyair untuk membangun sebuah kekuatan diksi dan kesatuan antar bait yang cukup rapat. Dengan demikian, kalimat-kalimat antar bait terasa cukup efektif dan eksotis.

Hal yang demikian juga terdapat dalam bait III, IV, V dan VI. Kesamaan irama menjadikan korespondesi sintatik yang cukup indah. ”Bulan luka parah/darahnya tumpah/”(bait III), ”ke dalam laut/yang kehilangan ombak” (bait IV), ”bulan luka parah/darahnya tumpah” (bait ke V), ”jadi ombak yang kehilangan laut” (Bait VI). Di sini terlihat kepiawaian penyair dalam merangkai bait dengan bait dengan pengulangan kata yang tepat, sehingga makna sepenuhnya tidak serta-merta dapat ditemukan, dan terdapat pula unsur musikalitas yang cukup baik, serta korespondensi yang indah.

Selain apa yang telah disebutkan di atas, ternyata terdapat juga gaya bahasa metafora yang cukup indah yang menumbuhkan imajinasi pembaca kepada hal yang diacu. Kata-kata ”bulan luka parah” seakan-akan menghidupkan bulan yang merupakan benda mati. Di sini terdapat imajinasi bahwa ”bulan” seakan-akan bisa mengalami luka, dan hal ini merupakan bahasa personifikasi karena tidak mungkin ”bulan” luka parah. Namun dikatakan ”bulan luka parah”, dan ditambahkan pula dengan ”darahnya tumpah”.

Dengan menambahkan perkataan ”darahnya tumpah”, maka seluruh untaian kata itu seakan benar-benar hidup. Di baris selanjutnya, ”laut kehilangan ombak” dan ”ombak kehilangan laut”. Pada baris ini pembaca cukup menikmati jalinan gaya bahasa personifikasi tersebut; emosi pembaca terbawa kepada suasana bulan, laut dan ombak. ”Bulan, Laut, dan Ombak” inilah yang dimaksud sebagai eksotisme kiasan alam pada analisis kali ini.



2. ”Bulan Luka Parah” dalam ambiguitas makna

Keutuhan makna yang terkandung di dalam puisi ini dibentuk oleh diksi yang digunakan oleh penyair. Kata-kata “Bulan Luka Parah” merupakan kata-kata eksotis yang dapat mengembangkan imaji pembaca dan larut dalam sebuah makna figuratif yang ingin disampaikan penyair. Di baris selanjutnya, “karena laut kehilangan ombak” dimunculkan oleh penyair. Jadi, penyair ingin membawa kita ke dalam suasana keindahan laut yang seakan-akan telah hilang keindahannya, sehingga imaji pembaca yang sudah berkembang dengan kalimat “bulan luka parah” semakin berintuisi pula dengan kalimat “karena laut kehilangan ombak”.

Pada bait ke II, “Bulan luka parah/karena ombak kehilangan laut”. Irama ini sama dengan irama pada bait pertama, hanya diksinya yang dibalik. Jika di Bait ke I “karena laut kehilangan ombak”, maka di bait ke II “karena ombak kehilangan laut”. Secara keseluruhan irama puisi pada bait ke I dan ke II ini mudah untuk dibaca, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sulit dimengerti. Puisi ini dapat dimengerti keutuhan maknanya jika dibaca secara menyeluruh agar kita dapat menemukan makna yang terkandung di dalam puisi ini.

Pada bait ke III, “Bulan luka parah/darahnya tumpah”, terjadi perubahan kata dan irama dengan bait ke IV. Pada dua bait ini sangat berbeda iramanya dengan bait pertama dan kedua karena makna yang terkandung jauh lebih dalam. Penyair mampu menyeimbangkan irama pada bait ke III dan ke IV sehingga makna yang terkandung jauh lebih dalam, membawa pembaca meresapi dan mendalami makna yang sebenarnya. Penyair dapat menghadirkan penjelasan kata yang terperinci dengan gaya bahasa personifikasi yang terfokus.

Pada bait ke IV, merupakan penjelasan dari bait ke III; pemakaian diksi yang lebih dalam dan fokus pada objek yang di tuju yaitu “ke dalam laut/yang kehilangan ombak”. Pada bait ini penyair ingin membawa pembaca menelusuri lebih dalam makna yang terkandung dalam tiap diksinya. Hal yang demikian memberikan kita (pembaca) memahami tiap-tiap baitnya dengan jelas, karena memang puisinya ini dalam tiap bait memiliki irama yang sama dan mengandung satu kesatuan penuh serta memiliki pararelisme makna yang padat.

Keadaan demikian juga terjadi pada bait ke V. Pada bait ini terjadi lagi pengulangan irama dan kata-kata yang sama pada bait ke III, “Bulan luka parah/ darahnya tumpah”. Penyair kembali menggunakan kata-kata yang sama untuk menjelaskan lebih lanjut pada bait ke VI. Pada bait V penyair seolah kehilangan ungkapan lain yang akan disampaikan ke pembaca.

Pada bait ke VI, melalui kata-kata “ Jadi ombak/yang kehilangan laut”, penyair lebih mempertajam makna yang sudah dijelaskan sebelumnya sehingga semakin dalam pula makna yang terkandung dalam puisi ini.

Dari puisi “Bulan Luka Parah” dapat ditafsirkan makna yang terkandung yaitu keadaan hati seorang perempuan yang terluka­ karena___ bisa jadi___perempuan itu kehilangan belahan hatinya yang dia sayangi. Bisa juga karena ditinggal pergi untuk selamanya atau pula perasaan sakit karena dikhianati kekasihnya. Bisa saja subjek “Aku” disembunyikan oleh penyair agar pembaca semakin penasaran dibuatnya. Ini terlihat jelas dalam kalimat “Bulan luka parah/karena laut kehilangan ombak”

Keutuhan makna ditopang oleh kekuatan gaya bahasa yang digunakan penyair yaitu gaya personifikasi dan simbolik. Kata-kata “Bulan luka parah” seolah itu digambarkan sebagai seorang perempuan. Kata-kata ”Bulan luka parah” diulang sebanyak empat kali dalam puisi ini. Hal ini dapat memperjelas bahwa penyair ingin terus memperlihatkan bahwa “bulan” merupakan suatu subjek. Penyair juga menggunakan kata penghubung “karena” untuk menghidupkan lukisan alam yang eksotis yang dikatakan melalui ombak dan laut; suatu pasangan diksi yang sangat tepat.

Dengan mengulang kata-kata “darahnya tumpah” pada akhir bait ke III dan V menjadikan seluruh rangkaian kata itu sangat berfungsi menghidupkan realita melalui gaya bahasa personifikasi, lalu menonjolkan irama puitik pada seluruh rangkaian ungkapan itu.

Pengaturan baris pada puisi ini menjorok ke luar yaitu pada bait ke I, II, III, dan V, sedangkan pada bait ke IV dan VI menjorok ke dalam sesuai dengan kata-kata “ ke dalam laut” dan kata-kata “ jadi ombak”. Perbandingannya adalah empat bait menjorok ke luar dan dua bait menjorok ke dalam. Ini menunjukkan sejauh mana kedalaman laut itu atau kedalaman hati seorang perempuan itu sendiri.

Jika tafsiran ini dapat diterima, maka ungkapan dibalik bentuk yang seperti ini kurang lebih adalah sebuah perasaan hati seorang wanita yang ditinggalkan oleh seseorang yang dia sayangi baik itu untuk selamanya (meninggal) atau dia sendiri ditinggalkan begitu saja oleh seorang laki-laki yang disayanginya. Kesedihannya menjadi-jadi dengan digambarkan melalui “darahnya tumpah”. Di akhir puisi ditutup dengan kalimat penutup “jadi ombak yang kehilangan laut”.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa penyair ingin menyampaikan puisinya dengan menggambarkan eksotisme alam secara dalam dan lebih menyelami ke dasarnya. Sebuah hal yang wajar karena Husni Djamaludin lahir dan dibesarkan di Sulawesi, pulau yang terkenal dengan keindahan laut. Tak ayal, banyak puisinya menggambarkan alam, salah satu contohnya adalah “Laut (6)”, merupakan puisi metafora laut sebagai orang yang sedang melaksanakan ibadah shalat.


Laut (6)

laut yang diam

laut dalam hening takbiratul ihram


laut yang bergelombang

laut yang sedang rukuk sembahyang


gerak-gerik ombak

yang tak henti

menghempas di pantai

gerak-gerik abadi

laut

yang

bersujud



Di dalam pengaturan baris, penyair menempatkan bait sesuai pada konteks kalimat, sekaligus memperdalam makna yang ingin disampaikan. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang penuh dengan kiasan makna
KJ adalah toekang poeloeng tinggal di pinggiran Jakarta