7.12.09

Kuntowijoyo

Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005, pukul 16. 00 Wib, setelah lebih dari sepuluh tahun mengalami serangan virus meningo enchepalitas yang mematikan. Sastrawan, budayawan, sejarawan, dan pemikir Islam local genious ini, sepanjang hayatnya banyak melahirkan karya sastra, sejarah dan pembaharuan pemikiran Islam yang begitu cemerlang hingga hari ini. Dalam menghadapi virus ganas yang menyerang otaknya, karya-karyanya terus lahir menyapa kita.
Satu persatu kita kehilangan orang-orang yang selama ini tak pernah meminta lebih dari apa yang kita berikan, juga tak pernah mengharap lebih dari apa yang semestinya. Mochtar Lubis, YB Mangunwijaya, Subagio Sastrowardoyo, Sutan Takdir Alisjahbana, Linus Suryadi Ag, Arifin C Noer, Teguh Karya, HB Jassin, Satyagraha Hoerip, Motinggo Busye, Mahbub Djunaedi, Dick Hartoko, AA Navis, Umar Kayam, Saini KM, Hamid Jabbar dan Kuntowijoyo, dan entah siapa lagi yang akan menyul berikutnya.

Di tengah duka yang bertubi-tubi menimpa negeri ini, kita tersentak mendengar kabar meninggalnya guru besar ilmu budaya di Universitas Gadjah Mada ini. Sementara kita yang masih tinggal di sini, berharap-harap cemas, meratapi kesedihan yang kian berlarut-larut. Pancangan kenangan yang telah almarhum berikan kepada kita seakan telah menebus seribu satu kesalahan yang telah kita perbuat selama ini. Ia tak henti-hentinya menyapa kita lewat kolom-kolom agama, novel dan cerita pendek hingga tulisan-tulisan sejarah yang begitu cemerlang memaparkan kekerdilan dan kebodohan kita.
Buku-bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Ibadah dan Fenomena Kepribadian Muslim (1985), Paradigma Islam, Interpretasi dan Aksi (1991), Identitas PolitikUmat Islam (1997), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002), adalah karya-karya di luar fiksi yang banyak dirujuk orang. Kematangan refleksinya melahirkan pembaharuan pemikiran keagamaan dalam konteks sejarah gerakan keislaman dan keindonesian. Sementara buku Metodologi Sejarah (1994), yakni sebagai ilmu dasar sejarah (ontologi), hubungan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu etik, dan menawarkan cara menulis sejarah yang estetik.
Kunto adalah pengarang produktif dan berkarya yang nyaris tanpa interupsi. Ia senantiasa membayang-bayangi kita lewat cerita-cerita sederhana namun mengandung metafor yang begitu dahsyat menyadarkan kita manusia Indonesia akan bahaya lupa. Ia juga tak kalah uniknya dalam membangun konflik-konflik tokoh ceritanya. Bahkan beberapa cerita pendeknya, seperti memberi isyarat maut bahwa suatu waktu ia akan pergi meninggalkan kita selama-lamanya.
Dalam cerpen Anjing, Kunto memperingatkan akan bahaya kefanatikan yang dipeluk teguh oleh umat beragama. Berkali-kali—bahkan sering—ia menampilkan rasa tidak puas diri ketika melihat banyaknya orang-orang yang beragama tapi hanya berhenti pada realitas artifisial yang dangkal. Metafor anjing sungguh sangat tepat menunjukkan bagaimana sikap orang -orang yang beragama yang menganggap yang lain (anjing) sebagai sesuatu yang najis dan harus dijauhkan dari lingkungan keluarga.
Tokoh istri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang istri yang berpendidikan dan begitu taat mengikuti suaminya, tapi kadar religiusitasnya begitu dangkal. Realitas kehidupan beragama semacam ini kita temukan juga dalam cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon dan cerpen Sepotong Kayu untuk Tuhan. Dalam “kesadaran sastra transendental”, mengutip istilah Kunto sendiri, kerapkali ia melontarkan kritik terhadap agama (Islam) dan tokoh-tokoh agama yang munafik, yang tak jarang menganggap dirinya paling suci di dunia ini.
Sejak novel Khotbah di Atas Bukit (1976), kecenderungan Kunto menampilkan setting keberagamaan yang profetis—keberagamaan yang mendekati tauladan dan sifat kenabian-- sudah begitu menonjol. Dalam cerpen Kembali Mencintai Bunga-bunga, Kunto kembali menghangatkan apa yang waktu itu (tahun 1960-an) disebut sebagai dualisme kehidupan beragama: tradisional vs modern. Alam tradisional yang diwakili oleh kehidupan orang-orang desa masih menempatkan agama sebagai laku moral yang harus ditegakkan, dimana pun dan dalam realitas apa pun. Sementara alam modern secara gamblang ditampilkan lewat kehidupan orang-orang kota yang secara angkuh menolak nilai-nilai “spiritualitas transenden”.
Tapi sungguh satu hal yang paling simbolik dalam cerpen-cerpen Kunto adalah ketika berkali-kali ia menulis cerpen tentang masalah kuburan. Agaknya cerpen-cerpen semacam ini menjadi semacam isyarat puitik dan pesan-pesan terakhirnya sebelum kemudian ia meninggalkan realitas duniawi dan masuk ke alam kubur dalam arti yang sebenarnya. Dalam cerpen Anjing-anjing Menyerbu Kuburan—sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas 1997—Kunto memainkan sebuah realitas kehidupan modern lewat metafor anjing. Ia menampilkan kisah-kisah sederhana (baik bentuk maupun gaya) untuk mengungkap kehidupan manusia yang kian serakah, yang saling memangsa satu sama lain.
Kehidupan keluarga miskin yang berhari-hari kelaparan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya terpaksa harus mencuri makanan. Namun ketika makanan sudah didapat, sekonyong-konyon anjing datang mengambilnya. Kisah ini seakan memberikan gambaran kepada kita bagaimana penindasan dilakukan atas nama kemiskinan.
Dalam cerpen Jangan Dikubur Sebagai Pahlawan—juga dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 1997 dan diterbitkan dalam karyanya berjudul Hampir Sebuah Subversi (1999)—Kunto kembali memainkan jurus-jurus sejarah dan sosiologis lewat orang-orang yang serakah atawa penjahat, tapi dikuburkan sebagai pahlawan. Cerpen ini mengingatkan kita pada roman karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, dimana orang-orang dungu yang tak pernah berjuang menegakkan kemerdekaan diberi predikat oleh negera sebagai pahlawan: “dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu, ada yang terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan”, demikian Pramoedya melukiskan.
Sementara Kunto merasa kecewa pada mereka yang secara terang-terangan mencoba melupakan mereka yang seharusnya pantas diberi predikat pahlawan lewat kesaksian-kesaksian orang pertama dan kedua di cerpen ini. Baik cerpen Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan maupun novel Bukan Pasar Malam, keduanya sama-sama menggunakan tokoh ayah. Dan kedua-duanya juga sama-sama mengambil setting cerita pada masa Revolusi 1945. Bedanya, Pramoedya bertutur lewat orang ketiga, sementara Kunto bertutur lewat orang pertama dan kedua.
Dalam cerpen ini Kunto begitu piawai membangun konflik pada tokoh-tokohnya. Ia juga menampilkan sosok tokoh yang protagonis bernama Sangadi. Di masa Revolusi 1945, Sangadi dikenal sebagai orang yang pemurah hati dan tak segan-segan meminjamkan uangnya kepada orang-orang yang dianggap membutuhkan. Tapi di sisi lain, ia sering memperkosa perempuan dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Sang narator mengalami kebimbangan ketika hendak menentukan apakah Sangadi pantas dikuburkan di makam pahlawan atau tetap dibiarkan berada di kuburan di desanya, seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini:

“Waktu itu tahun 1947, Zaman Revolusi. Ayah saya betugas di Dinas Penjualan Garam dan Candu. Tidak ada garam, jadi praktis yang dijual candu”....”Sangadi bersahabat baik dengan ayahku. Barangkali persahabatan yang aneh. Sangadi adalah bajingan paling ditakuti ayahku termasuk orang yang dihormati”. “Kemudian Sangadi meninggal. Mereka bertemu orang-orang menggotongnya keluar dari kampung kita, lalu dikuburkan di makam umum desa. Setelah aman, makam itu dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang baru, yang kita kenal sebagai Makam Pahlawan”.

Meski pengarang mencoba menghindar dari posisi “menghukum” tokohnya, namun secara terang jawabannya terungkap lewat judul cerpen ini, “Jangan Dikuburkan Sebagai Pahlawan”. Jasa baik Sangadi telah luntur lantaran perbuatannya yang begitu sering melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan tak bersalah.

Karena kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini hampir sama dengan dengan roman karya Pramoedya di atas, maka (maaf) saya sedikit mencoba untuk membandingkan kedua karya ini.

Dalam roman Bukan Pasar Malam, Pramoedya secara tajam mengkritik orang-orang yang selama ini tak pernah berjuang di medan perang menegakkan kemerdekaan tapi diberi predikat pahlawan: “dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia”, demikian Pramoedya mengungkapkan.

Selanjutnya, dengan kembali menggunakan orang ketiga sebagai penutur, Pramoedya tak henti-hentinya mengingatkan kita akan bahaya dari sejarah buatan rezim resmi:

“Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. Mereka yang dulu jadi Jenderal di daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak rakyat sungguh-sungguh. Dan ayah Tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi”.

Dengan demikian, baik Kunto maupun Pramoedya, keduanya memang pengarang yang piawai memainkan kilas-balik sejarah masa lalu yang tetap menemukan pijakan pada masa kini dan bahkan di masa mendatang. Kedua tokoh ayah dalam kisah ini tampil sangat memikat lewat ayah yang bekerja sebagai pedagang garam dan candu (Kunto) dan ayah yang bekerja sebagai guru Sekolah Rakyat (Pramoedya), yang menggugat kebijakan Dinas Pemerintahan Kolonial. Dan sebagaimana diketahui, kedua tokoh ayah ini hampir tidak pernah disinggung-disinggung apalagi dimasukkan dalam buku pelajaran sejarah resmi. Buku sejarah tentang pahlawan-pahlawan nasional di negeri ini di susun untuk melupakan sejarah yang sebenarnya.

Gugatan yang bertubi-tubi dihadirkan Kunto lewat cerpen-cerpen yang menggugat warisan buku-buku sejarah resmi menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bahkan beberapa cerpennya yang lain, tak kalah bernasnya mengisahkan kehidupan orang-orang kalah, seperti cerpen Orang yang Mencintai Kuburan. Cerpen ini menunjukkan secara kontras antara makam orang-orang kaya dengan makam orang-orang miskin dan realitas politik “yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan anjing” (yang besar memakan yang kecil). Begitu juga dalam cerpen Hampir Sebuah Subversi, lewat kisah sederhana ini ia mendedah sosok mahasiswa yang kritis tapi oleh dosennya dituduh sebagai anti-ideologi negara.

Sampai disini, karya-karya almarhum Kuntowijoyo menawarkan sebuah kisah dramatik sekaligus subversif. Cerpen-cerpen bertema kuburan memang sebuah isyarat puitik tentang kematian, yang setiap orang akan pergi meninggalkan yang lain. Maka dari sini, cerpen-cerpen Kunto menawarkan kesegaran dan ketegangan sebuah cerita, bukan pencabulan ata kenenesan yang membual mimpi-mimpi indah. Karena itu, sepantasnya bila almarhum diberi gelar bapak bangsa dan dikuburkan sebagai pahlawan nasional. Suka atau tak suka, begitulah adanya.

Tidak ada komentar:

KJ adalah toekang poeloeng tinggal di pinggiran Jakarta